Kamis, 01 Oktober 2015

TUGAS
MATRIKULASI  KONSEP DASAR IPS S2
( Dosen : Prof. Dr. Suyahmo, M.Si )


PRO KONTRA PASAL PENGHINAAN PRESIDEN DALAM KAJIAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL




https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEDrspu-r-PQr5_uAhehuLdS2KtOvHs_Lt6YV2KJKuFK2osl2sK79ZM9JikL7-4B0sUJYf4bidAMJUXP-XVMffNVofUtzhH1aHeVk2Au6RVJ8rUJgOL4rX2_NbXsB-OwOZm8cI6UCOZEs/s1600/logo-unnes.jpg
 










Disusun Oleh :
SIHA ABDUROHIM
NIM : 0301515015


PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL  S2
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat, taufik dan hidayahNya,  tugas  konsep dasar IPS S2 yang diberikan oleh yang terhormat Bapak dosen Prof. Dr. Suyahmo, M.Si  dalam kegiatan matrikulasi  yang dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 19 Agustus  di PPS UNNES tahun 2015  dapat  diselesaikan dengan baik, lancar tanpa ada hambatan dan gangguan yang berarti.
Kami atas nama mahasiswa baru PPS UNNES  mengucapkan terimakasih atas segala dukungan dari teman-teman mahasiswa yang terlibat baik secara langsung atau tidak atas partisipasinya terhadap kegiatan tersebut. Semoga amal baik dari seluruh peserta matrikulasi Pendidikan IPS S2 UNNES mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin

                                                                                    Semarang, 20 Agustus 2015
ttd
                                                                                    SIHA ABDUROHIM









PRO KONTRA PASAL PENGHINAAN PRESIDEN DALAM KAJIAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

A.  PENDAHULUAN

Pasal mengenai penghinaan presiden ini terdapat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), yaitu dalam Pasal 263 dan Pasal 264. Dalam draf RUU KUHP yang diterima Kompas.com, Pasal 263 ayat (1) itu berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."Sementara itu, dalam Pasal 263 ayat (2),"Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."Aturan lebih detail tercantum dalam Pasal 264. Pasal itu berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."Banyak yang kaget ketika diberitakan pemerintah memasukkan kembali pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru. Berita itu muncul setelah pada 6 Juli 2015 Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyampaikan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) baru, yang di dalamnya memuat dua pasal tentang ancaman pidana serius bagi setiap orang yang menghina Presiden atau Wakil Presiden.
Berita itu mengagetkan karena pasal-pasal tentang penghinaan kepada Presiden atau Wakil Presiden telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan Nomor 013 dan 022/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi yang saat itu dipimpin Jimly Asshiddiqie menyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tiga pasal yang terkait dengan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, yakni Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Pasal 134 berisi ancaman pidana paling lama enam tahun penjara atau denda paling tinggi Rp 4.500 bagi mereka yang dengan sengaja menghina Presiden atau Wakil Presiden. Pasal 136 bis berisi cara menyatakan penghinaan terkait dengan pihak-pihak yang hadir dalam melakukan penghinaan tersebut. Pasal 137 berisi cara menyiarkan tulisan atau gambar penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden agar diketahui atau lebih diketahui oleh umum dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda maksimal Rp 4.500. Mahkamah Konstitusi membatalkan ketiga pasal tersebut dengan alasan ketiganya tidak memberi kepastian hukum sebagaimana diharuskan oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam Pasal 263 RUU KUHP ayat 1 yang disiapkan pemerintah, disebutkan bahwa "Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV". Dalam ayat selanjutnya ditambahkan, "Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri". Berita dan opini yang ditulis oleh media arus utama maupun media sosial bila dilancarkan masif, intensif, akan membentuk dan menyeragamkan opini masyarakat terhadap sesuatu yang dicitrakan. Masyarakat bisa beropini positif terhadap seseorang, bisa juga beropini negatif terhadap seseorang maupun sebuah lembaga, pada zaman informasi digital seperti sekarang. Sebuah berita, sebuah opini "panas" yang sengaja digelembungkan akan cepat mewabah mempengaruhi persepsi masyarakat. Dua tiga hari lalu saya mendengar seorang pengamat komunikasi di TV melontarkan pertanyaan apakah pemberitaaan oleh media Singapura bahwa Presiden Jokowi kurang cakap berbahasa Inggris sebuah penghinaan atau sebuah kritik? Bila dinilai penghinaan dan terjadi ketika pasal penghinaan Presiden disetujui DPR masuk (lagi) dalam KUHP dan tidak dibatalkan (lagi) oleh Majelis Konstitusi, maka pembuat berita bisa diseret ke Pengadilan. Terutama media atau orang lokal yang ikut-ikutan menyiarkan dengan bumbu negatif, kalau media asing dan orang asing yang berkedudukan di negara asing sih entahlah apa bisa dibawa ke Pengadilan Indonesia. Media lokal juga ada yang menyiarkan berita tentang wawancara Presiden Jokowi dengan Straits Times dan seperti biasa langsung menyebar di media sosial dengan segala komentarnya, baik yang membela maupun yang sinis. Akhirnya terjadi pro kontra di dunia maya, tapi persepsi negatif telah melekat pada media Singapura.

B.  PRO DAN KONTRA

1.        PRO Pasal 263 ayat (2)
a.       Wakil Ketua Komisi III DPR RIm Desmond J Mahesa mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Kitab Umum Hukum Pidana akan dibahas pada masa sidang tahun ini. Meski demikian, ia belum dapat memastikan apakah pasal mengenai larangan penghinaan pada presiden akan dibahas. Desmond menyatakan, panitia kerja (panja) RUU KUHP telah menyusun daftar inventaris masalah. Pembahasan RUU KUHP akan dilakukan sejalan dengan digelarnya seminar mengenai hukum pidana dan hukum pidana khusus, seperti cyber crime dan lainnya. "Kalau untuk pasal (larangan) penghinaan presiden, kita lihat dulu. Kita hati-hati membahasnya," kata Desmond saat dihubungi, Jumat (7/8/2015).
Wakil Ketua Panja RUU KUHP itu mengatakan, pasal larangan penghinaan terhadap presiden tidak akan dibahas jika ternyata substansinya sama dengan pasal yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Menurut Desmond, membahas pasal yang telah dibatalkan MK merupakan hal sia-sia."Kecuali pasal ini dibuat lebih rigid, kalau sama praktiknya dengan Orde Baru berarti melanggar konstitusi, Ia menegaskan, pembahasan RUU KUHP memakan waktu karena berisi sekitar 780 pasal. Komisi III DPR RI menargetkan pembahasannya selesai pada pertengahan 2016.
b.      “Pak Polisi, tolong tangkap para penghina Isteri dan sahabat Nabi Muhammad SAW! Mereka menjadikan hinaan sebagai doktrin dan ajaran yg diwariskan dari generasi ke generasi. Menghina presiden saja dilarang, bagaimana kalau menghina simbol-simbol Islam seperti isteri dan sahabat baginda Nabi?” kata Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUM) DKI Jakarta, Fahmi Salim, Rabu (29/10). Menurut dia, polisi tidak boleh ragu-ragu menangkap siapa saja yang melecehkan dan menghina Islam, baik melalui media sosial maupun sarana lainnya. Untuk keperluan tersebut, polisi bisa menggunakan pasal-pasal dalam UU Informasi dan Transaksi Eelektronik (ITE). Selain itu, lanjut Fahmi yang juga pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu, Indonesia masih punya UU Nomor 1 PNPS/1965 tentang Larangan Penodaan Agama. Sampai kini UU ini belum dicabut. Seperti diberitakan sebelumnya, seorang pembantu tukang sate ditangkap polisi baru-baru ini. Alasannya, karena saat pilpres lalu yang bersangkutan dianggap menghina Jokowi yang kini menjadi presiden RI.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Boy Rafli Amar kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (29/10), mengatakan MA ditangkap di rumahnya pada Kamis 23 Oktober 2014 oleh 4 penyidik Mabes Polri berpakaian sipil. Dia langsung dibawa ke Mabes Polri, untuk diperiksa sekaligus dilakukan penahanan dalam waktu 1×24 jam. (edm)
c.       SBYudhoyono. "Di satu sisi, perkataan & tindakan menghina, mencemarkan nama baik & apalagi memfitnah orang lain, tmsk kpd Presiden, itu tidak baik. *SBY*. Prinsipnya, janganlah kita suka berkata & bertindak melampui batas. Hak & kebebasan ada batasnya. Kekuasaanpun juga ada batasnya.
Menurut SBY, di sisi lain, penggunaan kekuasaan apalagi berlebihan untuk perkarakan orang yang dinilai menghina, termasukk oleh Presiden, itu juga tdk baik. "Penggunaan hak & kebebasan, tmsk menghina orang lain, ada pembatasannya. Pahami Universal Declaration of Human Rights & UUD 1945. "Dalam demokrasi memang kita bebas bicara & lakukan kritik, tmsk kpd Presiden, tapi tak harus dgn menghina & cemarkan nama baiknya. Sebaliknya, siapapun, tmsk Presiden, punya hak utk tuntut seseorang yg menghina & cemarkan nama baiknya. Tapi, janganlah berlebihan. Dia pun mengingatkan, Presiden Jokowi bahwa pasal itu bisa digunakan untuk kepentingan penguasa. "Pasal penghinaan, pencemaran nama baik & tindakan tidak menyenangkan tetap ada "karetnya", artinya ada unsur subyektifitasnya. "Terus terang, selama 10 th jadi Presiden, ada ratusan perkataan & tindakan yang menghina, tak menyenangkan & cemarkan nama baik saya. Foto resmi Presiden dibakar, diinjak-injak, mengarak kerbau yang pantatnya ditulisi "SBY" & kata-kata kasar penuh hinaan di media & ruang publik.

2.        KONTRA
a.       Menurut Mahkamah Konstitusi, pasal-pasal tersebut bisa menjerat orang yang mungkin tidak bermaksud menghina Presiden, tetapi hanya menggunakan hak konstitusional biasa, seperti melakukan protes, membuat pernyataan, mengemukakan pemikiran, atau menyampaikan kritik. Pasal-pasal tersebut berpotensi dipergunakan seenaknya oleh penguasa untuk membungkam suara rakyat dalam menggunakan hak konstitusionalnya. Mahkamah Konstitusi juga menganggap ketiga pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (2) dan Ayat (3) UUD NRI 1945. Bahkan, menurut Mahkamah Konstitusi, ketiga "pasal karet" itu tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 7A UUD NRI 1945. Seperti diketahui, menurut Pasal 7A UUD, Presiden bisa didakwa untuk proses pemakzulan melalui pernyataan pendapat oleh DPR jika melakukan pelanggaran hukum berupa penyuapan, korupsi, pengkhianatan terhadap negara, melakukan tindak pidana berat, dan perbuatan tercela. Dengan berlakunya pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, bisa saja orang yang mengungkap indikasi, mengemukakan kesaksian, atau menyatakan pendapat dalam hal-hal yang diatur di dalam Pasal 7A tersebut diajukan ke pengadilan pidana dengan dakwaan menghina Presiden atau Wakil Presiden.
b.      Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqqie menilai bahwa alasan pemerintah yang menganggap posisi presiden sebagai simbol negara dianggap sebagai warisan pemikiran feodal. Pemikiran itu dianggap tak lagi relevan dengan era demokrasi. (Jimly: Presiden sebagai Simbol Negara adalah Pemikiran Feodal) Menurut dia, persoalan lambang negara sudah diatur secara khusus dalam Pasal 36 a Undang-Undang Dasar 1945. Lambang negara yang diatur dalam konstitusi adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan bukan presiden.
c.       Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menolak usulan pemerintah yang ingin menghidupkan kembali pasal larangan penghinaan kepada Presiden melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Menurut Fahri, kritik merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari oleh pejabat publik. Politisi PKS itu mengungkapkan, ia sering menerima kritik dan hal itu dianggapnya sebagai pemacu dalam memperbaiki kinerja. Fahri mengaku tidak pernah memiliki keinginan menempuh jalur hukum  untuk merespons berbagai kritik. "Tidak perlu tersinggung, tugas pejabat itu di antaranya dimaki-maki. Siapa lagi yang dimaki kalau bukan pejabat publik. Saya anggap penghinaan itu hiburan sebagai pejabat publik," kata Fahri, di Istana Bogor, Rabu (5/8/2015).
Ia menilai, aturan mengenai penghinaan tidak tepat jika dibuat untuk melindungi seorang Presiden yang dianggapnya bukan lambang negara. Menurut dia, yang perlu dilindungi adalah lambang negara seperti bendera, lagu kebangsaan, dan lembaga kenegaraan lainnya. "Kalau (Presidennya) kan makhluk hidup, orangnya datang dan pergi, jadi jangan disebut lambang negara. Tapi lembaga kepresidenan itu adalah institusi yang harus kita hormati,". Pasal mengenai penghinaan presiden ini terdapat dalam RUU KUHP,, yaitu dalam Pasal 263 dan Pasal 264.  Dalam draf RUU KUHP yang diterima Kompas.com, Pasal 263 ayat (1) itu berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
d.      Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI Jazuli Juwaini mengkritik usulan pemerintah untuk memasukkan kembali pasal larangan penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ia menganggap pasal itu bersifat feodalistis. "Pasal itu kan pasal feodal, sejarahnya dulu adalah untuk memproteksi penguasa kolonial dari kritik kaum pribumi," kata Jazuli, Rabu (5/8/2015). Menurut dia, menghidupkan pasal itu sama saja dengan kemunduran demokrasi. Ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus memikirkan persoalan-persoalan besar yang menyangkut kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. "Tantangan bagi siapa pun yang menjadi presiden untuk bekerja dan fokus saja memikirkan agenda besar pembangunan bangsa. Kalau kinerjanya baik, negara maju, pasti juga akan dicintai rakyatnya," kata dia. Menurut Jazuli, pasal larangan menghina presiden itu telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 dengan argumentasi konstitusionalitas yang jelas serta mempertimbangkan kemajuan kehidupan berdemokrasi. Pemerintah seharusnya taat pada putusan MK sebagai penjaga dan penafsir konstitusi, bukan malah memberi contoh melanggar putusan MK yang bersifat final dan mengikat. "Jangan sampai sikap pemerintah ini menjadi preseden buruk atas terjadinya pelanggaran atau pengabaian putusan-putusan MK, sehingga menjatuhkan marwah lembaga demokrasi ini," kata Jazuli. Anggota DPR dari daerah pemilihan Banten itu juga mengimbau kepada semua pihak untuk mengedepankan kesantunan dan menghormati kepala negara dalam menyampaikan kritik dan saran.

C.     KAJIAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Dilihat dari segi antara pro dan kontra tentang pasal penghinaan presiden diatas, bahwa hal itu merupakan hal yang wajar karena dalam kepemimpinan ada kelebihan dan kekurangan walau bagaimanapun sebagai masyarakat menginginkan kepada pemimpinnya sesuatu yang bagus. Dan hal tersebut bebas untuk setiap orang berpendapat karena kita adalah negara yang demokratis.
Undang-tersebut termasuk ambigu karena bias saja ketika orang-orang bermaksud mengkritik tapi asumsi lain itu menghina, ketika UU Hukum tersebut disahkan dikhawatirkan orang/pejabat lain menjadikannya sebagai tameng semata.
Secara keluarga/di rumah  pa Joko widodo kedudukannya sebagai kepala rumah tangga, suami bagi istrinya, ayah bagi anak-anaknya namun disisi lain beliau juga sebagai kepala Negara dimana kita sebagai masyarakat bias wajib hukumnya untuk menghormatinya.


D.    KESIMPULAN
1.      Pasal mengenai penghinaan presiden ini terdapat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), yaitu dalam Pasal 263 dan Pasal 264. Dalam draf RUU KUHP yang diterima Kompas.com, Pasal 263 ayat (1) itu berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."Sementara itu, dalam Pasal 263 ayat (2),"Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."Aturan lebih detail tercantum dalam Pasal 264. Pasal itu berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
2.      Jadi, indonesia merupakan negara demokrasi yang setiap orang bebas berpendapat tapi pendapat tersebut harus dibatasi. Melihat siapa subjek yang kita pahami bersama.  





















DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………………….. .    i
Kata Pengantar ……………………………………………………………………..     ii
Daftar Isi ……………………………………………………………………………    iii
A.    Pendahuluan ………………………………………………………………..               
B.     Pro dan Kontra ……………………………………………………………..               
1.      Pro Pasal 263 ayat 2 ………………………………...    
2.      Kontra ………………………………………………………………………   
C.     Kajian Ilmu Pengetahuan Sosial ……………………………...    
D.    Kesimpulan …………………………………………………………………   
E.     Daftar Pustaka ………………………………………………………………   





















DAFTAR PUSTAKA


http://nasional.kompas.com/read/2015/08/05/19200171/Ketua.FPKS.Anggap.Pasal.Larangan.Menghina.Presiden.Feodalistis









Tidak ada komentar:

Posting Komentar