TUGAS
MATRIKULASI KONSEP DASAR IPS S2
( Dosen
: Prof. Dr. Suyahmo, M.Si )
PRO KONTRA PASAL
PENGHINAAN PRESIDEN DALAM KAJIAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
![]() |
Disusun Oleh :
SIHA ABDUROHIM
NIM : 0301515015
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL S2
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
i
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat, taufik dan
hidayahNya, tugas konsep dasar IPS S2 yang diberikan oleh yang
terhormat Bapak dosen Prof. Dr. Suyahmo, M.Si
dalam kegiatan matrikulasi yang
dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 19 Agustus
di
PPS UNNES tahun 2015 dapat diselesaikan dengan
baik, lancar tanpa ada hambatan dan gangguan yang berarti.
Kami atas nama mahasiswa baru PPS UNNES mengucapkan terimakasih atas segala dukungan
dari teman-teman mahasiswa yang terlibat baik secara langsung atau tidak atas
partisipasinya terhadap kegiatan tersebut. Semoga amal baik dari seluruh
peserta matrikulasi Pendidikan IPS S2 UNNES mendapatkan
balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin
Semarang, 20 Agustus 2015
ttd
SIHA
ABDUROHIM
PRO KONTRA PASAL
PENGHINAAN PRESIDEN DALAM KAJIAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
A.
PENDAHULUAN
Pasal mengenai penghinaan presiden ini terdapat dalam
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), yaitu
dalam Pasal 263 dan Pasal 264. Dalam draf RUU KUHP yang diterima Kompas.com,
Pasal 263 ayat (1) itu berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum
menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."Sementara
itu, dalam Pasal 263 ayat (2),"Tidak merupakan penghinaan jika
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan
umum atau pembelaan diri."Aturan lebih detail tercantum dalam Pasal
264. Pasal itu berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan,
mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh
umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi
penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dengan maksud agar isi
penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."Banyak yang kaget ketika diberitakan pemerintah memasukkan kembali
pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden di dalam Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru. Berita itu muncul setelah pada 6
Juli 2015 Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyampaikan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) baru, yang di dalamnya
memuat dua pasal tentang ancaman pidana serius bagi setiap orang yang menghina
Presiden atau Wakil Presiden.
Berita
itu mengagetkan karena pasal-pasal tentang penghinaan kepada Presiden atau
Wakil Presiden telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Melalui putusan Nomor 013 dan 022/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi yang saat
itu dipimpin Jimly Asshiddiqie menyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat tiga pasal yang terkait dengan penghinaan terhadap
Presiden atau Wakil Presiden, yakni Pasal 134, Pasal 136 bis, dan
Pasal 137 KUHP. Pasal 134 berisi ancaman pidana paling lama enam tahun penjara
atau denda paling tinggi Rp 4.500 bagi mereka yang dengan sengaja menghina
Presiden atau Wakil Presiden. Pasal 136 bis berisi cara menyatakan penghinaan
terkait dengan pihak-pihak yang hadir dalam melakukan penghinaan tersebut. Pasal
137 berisi cara menyiarkan tulisan atau gambar penghinaan terhadap Presiden
atau Wakil Presiden agar diketahui atau lebih diketahui oleh umum dengan
ancaman pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda maksimal
Rp 4.500. Mahkamah Konstitusi membatalkan ketiga pasal tersebut dengan alasan
ketiganya tidak memberi kepastian hukum sebagaimana diharuskan oleh Pasal 28D
Ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam Pasal 263 RUU KUHP
ayat 1 yang disiapkan pemerintah, disebutkan bahwa "Setiap orang yang
di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".
Dalam ayat selanjutnya ditambahkan, "Tidak merupakan penghinaan jika
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan
umum atau pembelaan diri". Berita dan opini yang ditulis oleh
media arus utama maupun media sosial bila dilancarkan masif, intensif, akan
membentuk dan menyeragamkan opini masyarakat terhadap sesuatu yang dicitrakan.
Masyarakat bisa beropini positif terhadap seseorang, bisa juga beropini negatif
terhadap seseorang maupun sebuah lembaga, pada zaman informasi digital seperti
sekarang. Sebuah berita, sebuah opini "panas" yang sengaja
digelembungkan akan cepat mewabah mempengaruhi persepsi masyarakat. Dua tiga
hari lalu saya mendengar seorang pengamat komunikasi di TV melontarkan
pertanyaan apakah pemberitaaan oleh media Singapura bahwa Presiden Jokowi kurang
cakap berbahasa Inggris sebuah penghinaan atau sebuah kritik? Bila dinilai
penghinaan dan terjadi ketika pasal penghinaan Presiden disetujui DPR masuk
(lagi) dalam KUHP dan tidak dibatalkan (lagi) oleh Majelis Konstitusi, maka
pembuat berita bisa diseret ke Pengadilan. Terutama media atau orang lokal yang
ikut-ikutan menyiarkan dengan bumbu negatif, kalau media asing dan orang asing
yang berkedudukan di negara asing sih entahlah apa bisa dibawa ke Pengadilan
Indonesia. Media lokal juga ada yang menyiarkan berita tentang wawancara
Presiden Jokowi dengan Straits Times dan seperti biasa langsung menyebar di
media sosial dengan segala komentarnya, baik yang membela maupun yang sinis.
Akhirnya terjadi pro kontra di dunia maya, tapi persepsi negatif telah melekat
pada media Singapura.
B.
PRO
DAN KONTRA
1.
PRO Pasal 263 ayat (2)
a.
Wakil Ketua Komisi III DPR RIm Desmond J Mahesa mengatakan
bahwa Rancangan Undang-Undang Kitab Umum Hukum Pidana akan dibahas pada masa
sidang tahun ini. Meski demikian, ia belum dapat memastikan apakah pasal
mengenai larangan penghinaan pada presiden akan dibahas. Desmond menyatakan,
panitia kerja (panja) RUU KUHP telah menyusun daftar inventaris masalah.
Pembahasan RUU KUHP akan dilakukan sejalan dengan digelarnya seminar mengenai
hukum pidana dan hukum pidana khusus, seperti cyber crime dan
lainnya. "Kalau untuk pasal (larangan) penghinaan presiden, kita lihat
dulu. Kita hati-hati membahasnya," kata Desmond saat dihubungi, Jumat
(7/8/2015).
Wakil Ketua Panja RUU KUHP itu mengatakan, pasal
larangan penghinaan terhadap presiden tidak akan dibahas jika ternyata
substansinya sama dengan pasal yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada
2006. Menurut Desmond, membahas pasal yang telah dibatalkan MK merupakan hal
sia-sia."Kecuali pasal ini dibuat lebih rigid, kalau sama
praktiknya dengan Orde Baru berarti melanggar konstitusi, Ia menegaskan,
pembahasan RUU KUHP memakan waktu karena berisi sekitar 780 pasal. Komisi III
DPR RI menargetkan pembahasannya selesai pada pertengahan 2016.
b. “Pak
Polisi, tolong tangkap para penghina Isteri dan sahabat Nabi Muhammad SAW!
Mereka menjadikan hinaan sebagai doktrin dan ajaran yg diwariskan dari generasi
ke generasi. Menghina presiden saja dilarang, bagaimana kalau menghina
simbol-simbol Islam seperti isteri dan sahabat baginda Nabi?” kata Ketua Umum
Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUM) DKI Jakarta, Fahmi Salim, Rabu (29/10). Menurut dia,
polisi tidak boleh ragu-ragu menangkap siapa saja yang melecehkan dan menghina
Islam, baik melalui media sosial maupun sarana lainnya. Untuk keperluan
tersebut, polisi bisa menggunakan pasal-pasal dalam UU Informasi dan Transaksi
Eelektronik (ITE). Selain itu, lanjut Fahmi yang juga pengurus Majelis Ulama
Indonesia (MUI) itu, Indonesia masih punya UU Nomor 1 PNPS/1965 tentang
Larangan Penodaan Agama. Sampai kini UU ini belum dicabut. Seperti diberitakan
sebelumnya, seorang pembantu tukang sate ditangkap polisi baru-baru ini.
Alasannya, karena saat pilpres lalu yang bersangkutan dianggap menghina Jokowi
yang kini menjadi presiden RI.
Kepala
Biro Penerangan Masyarakat Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Boy Rafli Amar kepada
wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (29/10), mengatakan MA ditangkap di
rumahnya pada Kamis 23 Oktober 2014 oleh 4 penyidik Mabes Polri berpakaian
sipil. Dia langsung dibawa ke Mabes Polri, untuk diperiksa sekaligus dilakukan
penahanan dalam waktu 1×24 jam. (edm)
c. SBYudhoyono.
"Di satu sisi, perkataan & tindakan menghina, mencemarkan nama baik
& apalagi memfitnah orang lain, tmsk kpd Presiden, itu tidak baik. *SBY*.
Prinsipnya, janganlah kita suka berkata & bertindak melampui batas. Hak
& kebebasan ada batasnya. Kekuasaanpun juga ada batasnya.
Menurut
SBY, di sisi lain, penggunaan kekuasaan apalagi berlebihan untuk perkarakan
orang yang dinilai menghina, termasukk oleh Presiden, itu juga tdk baik.
"Penggunaan hak & kebebasan, tmsk menghina orang lain, ada pembatasannya.
Pahami Universal Declaration of Human Rights & UUD 1945. "Dalam
demokrasi memang kita bebas bicara & lakukan kritik, tmsk kpd Presiden,
tapi tak harus dgn menghina & cemarkan nama baiknya. Sebaliknya, siapapun,
tmsk Presiden, punya hak utk tuntut seseorang yg menghina & cemarkan nama
baiknya. Tapi, janganlah berlebihan. Dia pun mengingatkan, Presiden Jokowi
bahwa pasal itu bisa digunakan untuk kepentingan penguasa. "Pasal
penghinaan, pencemaran nama baik & tindakan tidak menyenangkan tetap ada
"karetnya", artinya ada unsur subyektifitasnya. "Terus terang,
selama 10 th jadi Presiden, ada ratusan perkataan & tindakan yang menghina,
tak menyenangkan & cemarkan nama baik saya. Foto resmi Presiden dibakar,
diinjak-injak, mengarak kerbau yang pantatnya ditulisi "SBY" &
kata-kata kasar penuh hinaan di media & ruang publik.
2.
KONTRA
a.
Menurut
Mahkamah Konstitusi, pasal-pasal tersebut bisa menjerat orang yang mungkin
tidak bermaksud menghina Presiden, tetapi hanya menggunakan hak konstitusional
biasa, seperti melakukan protes, membuat pernyataan, mengemukakan pemikiran,
atau menyampaikan kritik. Pasal-pasal tersebut berpotensi dipergunakan
seenaknya oleh penguasa untuk membungkam suara rakyat dalam menggunakan hak
konstitusionalnya. Mahkamah Konstitusi juga menganggap ketiga pasal tersebut
bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (2) dan Ayat (3) UUD NRI 1945.
Bahkan, menurut Mahkamah Konstitusi, ketiga "pasal karet" itu tidak
sinkron dengan ketentuan Pasal 7A UUD NRI 1945. Seperti diketahui, menurut
Pasal 7A UUD, Presiden bisa didakwa untuk proses pemakzulan melalui pernyataan
pendapat oleh DPR jika melakukan pelanggaran hukum berupa penyuapan, korupsi,
pengkhianatan terhadap negara, melakukan tindak pidana berat, dan perbuatan
tercela. Dengan berlakunya pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil
Presiden, bisa saja orang yang mengungkap indikasi, mengemukakan kesaksian,
atau menyatakan pendapat dalam hal-hal yang diatur di dalam Pasal 7A tersebut
diajukan ke pengadilan pidana dengan dakwaan menghina Presiden atau Wakil
Presiden.
b.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqqie
menilai bahwa alasan pemerintah yang menganggap posisi presiden sebagai simbol
negara dianggap sebagai warisan pemikiran feodal. Pemikiran itu dianggap tak
lagi relevan dengan era demokrasi. (Jimly: Presiden sebagai Simbol Negara adalah Pemikiran Feodal)
Menurut dia, persoalan lambang negara sudah diatur secara khusus dalam
Pasal 36 a Undang-Undang Dasar 1945. Lambang negara yang diatur dalam
konstitusi adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan
bukan presiden.
c.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menolak usulan pemerintah
yang ingin menghidupkan kembali pasal larangan penghinaan kepada Presiden
melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Menurut Fahri,
kritik merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari oleh pejabat publik.
Politisi PKS itu mengungkapkan, ia sering menerima kritik dan hal itu
dianggapnya sebagai pemacu dalam memperbaiki kinerja. Fahri mengaku tidak
pernah memiliki keinginan menempuh jalur hukum untuk merespons berbagai
kritik. "Tidak perlu tersinggung, tugas pejabat itu di antaranya
dimaki-maki. Siapa lagi yang dimaki kalau bukan pejabat publik. Saya anggap
penghinaan itu hiburan sebagai pejabat publik," kata Fahri, di Istana
Bogor, Rabu (5/8/2015).
Ia menilai, aturan mengenai penghinaan tidak tepat
jika dibuat untuk melindungi seorang Presiden yang dianggapnya bukan lambang
negara. Menurut dia, yang perlu dilindungi adalah lambang negara seperti
bendera, lagu kebangsaan, dan lembaga kenegaraan lainnya. "Kalau
(Presidennya) kan makhluk hidup, orangnya datang dan pergi, jadi jangan disebut
lambang negara. Tapi lembaga kepresidenan itu adalah institusi yang harus kita
hormati,". Pasal mengenai penghinaan presiden ini terdapat dalam RUU
KUHP,, yaitu dalam Pasal 263 dan Pasal 264. Dalam draf RUU KUHP yang
diterima Kompas.com, Pasal 263 ayat (1) itu berbunyi, "Setiap orang
yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
d.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI Jazuli Juwaini
mengkritik usulan pemerintah untuk memasukkan kembali pasal larangan penghinaan
terhadap presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Ia menganggap pasal itu bersifat feodalistis. "Pasal itu kan pasal
feodal, sejarahnya dulu adalah untuk memproteksi penguasa kolonial dari kritik
kaum pribumi," kata Jazuli, Rabu (5/8/2015). Menurut dia, menghidupkan
pasal itu sama saja dengan kemunduran demokrasi. Ia menyarankan agar pemerintah
lebih fokus memikirkan persoalan-persoalan besar yang menyangkut kemajuan
bangsa dan kesejahteraan rakyat. "Tantangan bagi siapa pun yang menjadi
presiden untuk bekerja dan fokus saja memikirkan agenda besar pembangunan
bangsa. Kalau kinerjanya baik, negara maju, pasti juga akan dicintai
rakyatnya," kata dia. Menurut Jazuli, pasal larangan menghina presiden itu
telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 dengan argumentasi
konstitusionalitas yang jelas serta mempertimbangkan kemajuan kehidupan
berdemokrasi. Pemerintah seharusnya taat pada putusan MK sebagai penjaga dan
penafsir konstitusi, bukan malah memberi contoh melanggar putusan MK yang bersifat
final dan mengikat. "Jangan sampai sikap pemerintah ini menjadi preseden
buruk atas terjadinya pelanggaran atau pengabaian putusan-putusan MK, sehingga
menjatuhkan marwah lembaga demokrasi ini," kata Jazuli. Anggota DPR dari
daerah pemilihan Banten itu juga mengimbau kepada semua pihak untuk
mengedepankan kesantunan dan menghormati kepala negara dalam menyampaikan kritik
dan saran.
C.
KAJIAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Dilihat
dari segi antara pro dan kontra tentang pasal penghinaan presiden diatas, bahwa
hal itu merupakan hal yang wajar karena dalam kepemimpinan ada kelebihan dan
kekurangan walau bagaimanapun sebagai masyarakat menginginkan kepada
pemimpinnya sesuatu yang bagus. Dan hal tersebut bebas untuk setiap orang
berpendapat karena kita adalah negara yang demokratis.
Undang-tersebut
termasuk ambigu karena bias saja ketika orang-orang bermaksud mengkritik tapi
asumsi lain itu menghina, ketika UU Hukum tersebut disahkan dikhawatirkan
orang/pejabat lain menjadikannya sebagai tameng semata.
Secara
keluarga/di rumah pa Joko widodo
kedudukannya sebagai kepala rumah tangga, suami bagi istrinya, ayah bagi anak-anaknya
namun disisi lain beliau juga sebagai kepala Negara dimana kita sebagai
masyarakat bias wajib hukumnya untuk menghormatinya.
D.
KESIMPULAN
1.
Pasal mengenai penghinaan presiden ini terdapat dalam
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), yaitu
dalam Pasal 263 dan Pasal 264. Dalam draf RUU KUHP yang diterima Kompas.com,
Pasal 263 ayat (1) itu berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum
menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."Sementara
itu, dalam Pasal 263 ayat (2),"Tidak merupakan penghinaan jika
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan
umum atau pembelaan diri."Aturan lebih detail tercantum dalam Pasal
264. Pasal itu berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan,
mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh
umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi
penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dengan maksud agar isi
penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
2.
Jadi, indonesia merupakan negara demokrasi yang setiap orang
bebas berpendapat tapi pendapat tersebut harus dibatasi. Melihat siapa subjek
yang kita pahami bersama.
DAFTAR
ISI
Halaman Judul …………………………………………………………………….. . i
Kata Pengantar …………………………………………………………………….. ii
Daftar Isi …………………………………………………………………………… iii
A.
Pendahuluan ………………………………………………………………..
B.
Pro dan Kontra
……………………………………………………………..
1.
Pro Pasal 263 ayat 2
………………………………...
2.
Kontra ………………………………………………………………………
C.
Kajian Ilmu Pengetahuan Sosial
……………………………...
D.
Kesimpulan
…………………………………………………………………
E.
Daftar Pustaka
………………………………………………………………
DAFTAR
PUSTAKA
http://nasional.kompas.com/read/2015/08/05/19200171/Ketua.FPKS.Anggap.Pasal.Larangan.Menghina.Presiden.Feodalistis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar