(Paulinus A.S. Kalkoy)
1. MENGENAL PRAGMATISME: LATAR BELAKANG MUNCULNYA
Pragmatisme
sebagai suatu gerakan dalam filsafat lahir pada akhir abad ke-19 di Amerika.
Karena itu sering dikatakan bahwa pragmatisme merupakan sumbangan yang paling
orisinal dari pemikiran Amerika terhadap perkembangan filsafat dunia.
Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjebatani dua kecenderungan
berbeda yang ada pada saat itu. Kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu
yakni, pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif”
dan “yang praksis”. Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan
filsafat rasionalistik Descartes dan berkembang
melalui idealisme kritis dari Kant, idealisme absolut Hegel serta sejumlah
pemikir rasionalistik lainnya.[1]Warisan ini
memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang terhormat kerena memiliki
kekuatan instrinsik yang besar. Warisan ini pulalah yang telah mendorong para
filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang
mengunakan daya nalar spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam
semesta. Akan tetapi, di pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya
begitu menekankan pentingnya pemikiran yang bersifat praksis semata
(empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu ditekankan sehingga
rasio kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen
khas manusiawi yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan sejarah. Hasil
dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. Termasuk di
dalamnya yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Seperti yang
sudah dijelaskan di atas, secara filosofis, pragmatisme berusaha untuk
menjebatani dua aliran filsafat tradisional ini. Atas salah satu cara
pragmatisme menyetujui apa yang menjadi keunggulan dari empirisme. Hal-hal itu
seperti:[2]
ü Bahwa kita tidak pernah memiliki konsep
yang menyeluruh tentang realitas,
ü Pengetahuan mengenai obyek-obyek material
bersumber dari persepsi dengan perspektif yang berbeda-beda,
ü Dibutuhkan pemahaman multidimensi atau
memerlukan pemahaman pluralitas. Jadi pemahaman komprehensif mesti dilihat
dalam pluralitas.
Selain sependapat dengan empirisme untuk beberapa hal di
atas, pragmatisme juga sependapat dengan tradisi rasionalisme dan idealisme dalam
hal keseluruhan nilai hidup, terutama moralitas dan agama memberi makna untuk
hidup manusia.
Melihat apa yang ingin dijembatani ini, pragmatisme
mengangkat nilai-nilai positif yang ada pada kedua tradisi tersebut. Prinsip
yang dipegang kaum pragmatis yakni: tidaklah penting bahwa saya menerima teori
ini atau itu; yang penting ialah apakah saya memiliki suatu teori atau nilai
yang dapat berfungsi dalam tindakan.[3]
1.1. JOHN DEWEY DAN PRAGMATISME
Secara
teoretis, gerakan pragmatisme berawal dari upaya formulasi yang dilakukan oleh
Charles Sanders Peirce[4], meskipun
kemudian pragmatisme dikembangkan oleh William James[5]. Secara
metodologis, pragmatisme akhirnya berhasil diserap oleh bidang-bidang kehidupan
sehari-hari Amerika Serikat berkat kerja keras John Dewey. Dewey memusatkan
perhatiaanya pada masalah-masalah yang menyangkut etika, pemikiran sosial dan
pendidikan. Memang ada begitu banyak pandangan-pandangan para filsuf yang
berhubungan dengan bidang pragmatisme ini, akan tetapi ketiga tokoh di atas
yang populer dan banyak dibicarakan dalam pengembangan pragmatisme. Peirce
dipandang sebagai penggagas pragmatisme, James sebagai pengembangnya dan Dewey
sebagai orang yang menerapkan pragmatisme dalam pelbagai bidang kehidupan.
1.2. JOHN DEWEY: RIWAYAT HIDUP DAN
KARYANYA
Riwayat Hidup John Dewey
John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika, pendidik
dan pengkritik sosial yang lahir di Burlington, Vermont dalam tahun 1859.
Dewey kecil adalah seorang yang gemar membaca namun tidak menjadi seorang siswa
yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke Universitas
Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan
kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar
doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas
terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang
menggagas munculnya pragmatisme. Walaupun demikian, pengaruh terbesar darang
dari guru dan sahabatnya G.S. Morris, seorang idealis. Dari tahun 1884 samai
1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat. Tahun
1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang
sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat.
Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, ketika ia pindah ke Universitas Chicago
yang membawa banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan
sekolah di kemudian hari. Ia menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat dari
tahun 1894-1904 di universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory
School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di
pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di
sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis
sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan
tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti,
ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan
pemecahan masalah.[6] Selama
periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang
telah mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi selain menekuni
pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika.
Pengalaman Dewey tidak hanya berhenti sampai di
Universitas Chicago. Terakhir ia berkarya sebagai dosen di Universitas Colombia
dalam tahun 1904. Di universitas ini, Dewey berkarya sebagai seorang profesor
filsafat sampai ia pensiun pada tahun 1929. Dalam periode ini, Dewey banyak
mengadakan perjalanan antara lain ke negara-negara Eropa serta Jepang, Cina,
Meksiko, dan Rusia. Di Jepang, misalnya, ia memberikan kuliah-kuliah dalam
bentuk ceramah yang kemudian akan menjadi dasar pengembangan filsafat
rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia juga berkunjug ke Turky untuk mengadakan
rekunstruksi terhadap sistem pendidikan yang dijalankan di sana. Hal yang sama
juga dilakukan dalam kunjugannya ke Meksiko dan Rusia dalam tahun 1928.[7]
Sejak ia berhenti dari universitas Colombia, ia aktif
dalam pengembangan filsafat dan melanjutkan karya-karya dokrinnya. Dengan
pelbagai usaha dan kerja yang dilakukannya selama masih bekerja di
universitas-universitas maupun setelah itu, ia kemudian dikenal sebagai seorang
yang mengembangkan filsafat secara baru di Amerika. Pemikirannya banyak
mempengaruhi perkembangan filsafat, politik, pendidikan, religiusitas dan
kesenian di Amerika.
1.3. Karya-Karya John Dewey
Sudah sedikit
disinggung di atas bahwa karya-karya Dewey banyak mempengaruhi corak berpikir
Amerika. Pengaruh ini juga banyak berasal dari buku-buku atau karya-karya yang
dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni Psychology yang
diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines of a
Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga tahun kemudian, 1894, terbit
lagi The Study Of Etics: A Syllabus. Ketika ia berkarya di
Universitas Chicago, berturut-turut ia menerbitkan My Pedagogic
Creed (1897), The School and Society (1903),
dan Logical Conditions of a Scientific Treatment of Morality (1903).
Ia juga banyak menghasilkan uku-buku ketika berada di Universitas Colombia
sepertiEthics (1908), How We Think (1910), The
Influence of Darwin and Other Essays in Contemporary Thought (1910), School
of Tomorrow (1915),Democraty and Education (1916), Essays
in Experimental Logic (1916),Recunstruction in Philosophy (1920), Human
Nature and Conduct (1922),Experience and Nature (1925), The
Quest for Certainty (1929), Art as Experience (1934), A
Common Faith (1934), Experience and Education(1938), Logic:
The Theory of Inquiry (1938), Theory of Valuation (1939),Education
Today (1940), Problem of Men (1946), dan Knowing
and The Known (1949).
Nampak jelas
dari tulisan-tulisan Dewey bahwa ia menaruh minat besar
pada bidang logika, metafisika dan teori pengatahuan. Tetapi perhatian
Dewey di bidang pragmatisme terutama dicurahkan pada realitas sosial daripada
kehidupan individual. Hal ini nampak dalam tema-tema bukunya: pendidikan,
demokrasi, etika, agama, dan seni.
II. PANDANGAN DEWEY TENTANG PENGALAMAN
DAN PENGARUHNYA PADA CORAK BERPIKIR MANUSIA
Konsep kunci
dalam filsafat Dewey adalah pengalaman.[8] Pemahaman
ini dipengaruhi oleh pemahaman kaum Hegelianisme tentang perkembangan pengalaman.
Kaum Hegelian ini juga mempengaruhi pandangan Dewey dalam pemahamannya mengenai
konsep sejarah dan metode dialog yang dikembangkannya dalam teori-teorinya
tentang pendidikan sekolah.[9]Bagi Dewey,
pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu
kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Tidak ada pengalaman yang
bergerak secara terpisah dan semua pengalaman itu memainkan suatu kompleksitas
sistem yang organik. Menurutnya, pemikiran kita berpangkal dari
pengalaman-pengalaman dan menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan
segera dan kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan pada
dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia
sekitar atau dalam dunia kita. Pengalaman yang langsung
bukanlah soal pengetahuan, yang terkandung di dalamnya pemisahan subyek dan
obyek, pemisahan antara pelaku dan sarananya. Di dalam pengalaman itu keduanya
bukan dipisahkan, tetapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari
yang mengalaminya sebagai satu hal yang penting atau yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan di antara subyek dan obyek hal itu
bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran,
itulah yang menyusun sasaran pengetahuan.[10] Atas
dasar ini pula, Dewey merumuskan tujuan filsafat sebagai memberikan garis-garis
pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat
tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tidak
bermanfaat. Dalam konteks ini, filsafat digunakan sebagai dasar dan fungsi
sosial.[11]
Pokok pandangan
ini muncul sebagai kritiknya atas pokok dari filsafat jaman sebelumnya yang
mengemukakan pandangan tentang realitas dan fungsi pengetahuan yang
membingungkannya. Menurutnya, kaum empiris telah
beranggapan bahwa pikiran selalu menunjuk pada obyek-obyek dari alam, dan bahwa
setiap ide selalu berhubungan dengan suatu realitas. Dengan kata lain,
pengetahuan seakan-akan dibentuk setelah subyek berhadapan dengan atau
memandang sesuatu di luar dirinya. Inilah yang disebut “a spectator theory
of knowledge”. Menurut teori ini, subyek pengetahuan bertindak
bagaikan seorang penonton yang hanya dengan memandang sudah mendapatkan ide
tentang obyeknya. Inilah pandangan kaum rasionalis. Menurut pandangan ini,
rasio merupakan suatu instrumen untuk memperhatikan apa yang tetap dan pasti
pada alam. Alam dan rasio adalah dua hal yang terpisah dan berbeda.[12]
Dewey beranggapan
bahwa baik apa yang dikembangkan oleh kaum empiris maupun kaum rasionalis
terlalu statis di satu pihak dan terlampau mekanistik di lain pihak. Atas
pengaruh Hegelian, Dewey mengakui bahwa antara manusia dan lingkungan
alamiahnya terdapat dialektika yang konfliknya “terselesaikan” dalam
pengalaman. Hal ini disebabkan karena setiap pengalaman
adalah kekuatan yang berdaya guna.[13] Maksudnya,
pengalaman merupakan pertemuan antara manusia dengan lingkungan alam yang
mengitarinya dan itu membawa manusia pada pemahaman yang baru. Pengalaman juga
bersifat dinamis karena lingkungan juga bercorak dinamis. Inteligensi pada
hakikatnya merupakan kekuatan yang dimiliki manusia untuk menghadapi lingkungan
hidup yang terserap dalam pengalamannya. Dalam konteks ini, berpikir adalah
suatu aktivitas inteligensi yang lahir karena adanya pengalaman manusia dan
bukan suatu akivitas yang terisolasi dalam pikiran semata.[14]
Berdasarkan
pendangannya tentang hubungan pengalaman dan corak berpikir di atas, Dewey
membagi aspek pemikiran dalam dua aspek. Pada mulanya aspek pimikiran selalu
berada dalam a) situasi yang membingkungkan dan tidak
jelas, b) situsi yang jelas di mana masalah-masalah terpecahkan.
Menurutnya, aktivitas berpikir selalu merupakan sarana untuk memecahkan
masalah-masalah. Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas inteligensi lebih luas
dari sekedar aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan yang muncul
dalam diri subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang disebut
Dewey teori instrumentalia tentang pengetahuan. Yang
dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu
usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep,
pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang
bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran
berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai
konsekuensi-konsekuensi di masa depan.[15] Teori ini
juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme
daripada disebut sebagai pragmatisme.
Padangan Dewey
tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu
sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah
baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain
pihak, manusia manurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri
secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus
diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan
semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain
berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung
oleh masyarakat yang ada di sekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia
memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa
oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah
memiliki bentuk baku, melainkan sangat fleksibel. Fleksibilitasnya tampak
ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini
sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologis manusia atau kodrat
manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu
diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila
seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan karena
“kebiasaan”, cara seseorang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu.
Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarannya.
Dewey juga
berbicara tentang kejahatan (evil) manusia. Kejahatan bukanlah sesuatu
yang tidak dapat dirubah. Sebaliknya, kejahatan merupakan hasil dari cara
tertentu manusia yang dibentuk dan dikondisikan oleh budaya. Oleh karena itu,
syarat mutlak untuk mengatasi kejahatan adalah mengubah kebiasaan-kebiasaan
masyarakat, yaitu kebiasaannya dalam berpikir dan bereaksi terhadap
kesekitaran.
IV. PANDANGAN DEWEY TENTANG DEMOKRASI
DAN PENDIDIKAN
Dewey juga
menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandanganya tentang filsafat
pendidikan. Pandangan yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan
modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas
Chicago, ia telah mulai mengkritik tentang sisitem pendidikan tradisional yang
bersifat determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak hanya digunakan di
Amerika, tetapi juga di banyak negara lainnya di seluruh dunia.[17]
Untuk memahami
pemikiran John Dewey, kita harus berusaha untuk memahami titik-titik lemah yang
ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Ia secara realistis mengkritik praktek
pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan
para siswa dalam sistem pendidikan. Penyikasaan fisik dan indoktrinasi dalam
bentuk penerapan dokrin-dokrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan
pendidikan. Tak lepas dari kritikannya juga yakni sistem kurikulum yang hanya
“ditentukan dari atas” tanpa memperhatikan masukkan-masukkan dari bawah.
Dewey
sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu
masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana
untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi.
Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya penghormatan pada
hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang.[18] Gagasan
ini juga bertolak dari gagasannya tentang perkembangan seperti yang sudah di
bahas sebelumnya. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat.
Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang
demokratis dan untuk mengembangkannya.[19] Pendidikan
merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang
lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih
penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi,
daripada mengisisnya secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat
teoretis yang tertib.[20] Pendidikan
harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen
dan refleksi. Pendidikan yang bertolak dan merupakan kontuinitas dari refleksi
atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak didik. Dengan
demikian, belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang
berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan terus-menerus untuk
membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran.
Bagi Dewey,
kehidupan masyarakat yang berdemokrtatis adalah dapat terwujud bila dalam dunia
pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia
menyatakan bahwa ide pokok demokrasi adalah pandangan hidup yang dicerminkan
dengan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk
nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan
suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan
secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik.[21] Dari
pernyataan ini, bagi Dewey demokrasi bukan sekedar
menyangkut suatu bentuk kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Demokrasi berarti setiap orang mengalami kebebasannya
untuk berkreasi dan mengungkapkan pengalaman humanitasnya dalam partisipasi
bersama. Untuk tujuan ini, maka sekolah menjadi medium yang
mengungkapkan bagaimana hidup dalam suatu komunitas yang demokratis. Dewey selalu mengatakan bahwa sekolah merupakan suatu
kelompok sosial yang kecil (minoritas); yang menggambarkan atau menjadi
cerminan dari kelompok sosial yang lebih besar (mayoritas).[22] Ia menegaskan bahwa sosialisasi nilai-nilai demokratis
harus dilaksanakan oleh sekolah yang demokratis. Dan ini diusahakan antara lain
dengan menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan pendidikan. Ia
dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebsan akademik diperlukan guna
mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpu pada interaksi dan
kerjasama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu
sama lain; berpikir kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi
bersama, dan bekerjasama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi.[23] Secara
implisit hal ini berarti sekolah yang demokratis harus mendorong dan memberikan
kesempatan kepada semua siswa untuk aktif berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan, merencanakan kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.
Pendekatan
Dewey pada seni berbeda dengan para Idealis. Dia tidak prihatin dengan segala
usaha untuk menemukan suatu yang lebih dahulu sebagai standar yang indah
dalam analisa para genius . Maksud utama dari seni ini adalah memberikan suatu
ilmu sosiologi dan penjelasan empiris dari setiap subyek. Seni tidak
berakhir dalam pencarian lewat diri sendiri. Itu dibuat dengan fungsi
untuk menjadikan suatu kehidupan indah. Kekeliruan teori dari estetika yang
klasik adalah pembagian antara seni dan ilmu, antara seni dan moral. Dalam
pendidikan seni, pengaruh Dewey telah masuk didalamnya. Dia membiarkan
partisipasi ilmu lain pada seni untuk dipelajari oleh para pelajar.
Pada zaman
Dewey, terdapat reaksi yang bertentangan dengan semangat yang ada dalam seni.
Banyak kritik yang diberikan terhadap konsep seni pada abad pertengahan dan
zaman renessance. Paham industrialis memunculkan kembali apa yang terjadi pada
zaman klasik dimana moral dan seni disatukan.
Dewey lebih
percaya para ahli seni tidak hanya berada dalam sekolah-sekolah dan museum
tetapi berada juga di pabrik dan di rumah-rumah. Dengan cara ini hal pokok dari
seni adalah berkehendak menemukan apa yang menjadi bagian dari harian hidup
manusia.
Mungkin
kontribusi Dewey bagi perkembangan kebudayaan Amerika yang paling bessar adalah
formulasinya secara batu tentang filsafat. Baginya, filsafat harus terarah pada
masalah-masalah sosial dalam setiap waktu dan berusaha untuk diklarifikasikan
dengan masalah filsafat politik dan ekonomi. Dalam bahasa lain, tradisi
epistemologi dan problem metafisika juga patut diperhitungkan dalam tempat yang
kedua. Semuanya berpengaruh pada atau membentuk konsep filsafat sosial.
Berkaitan dengan semuanya, John Dewey percaya bahwa
filsafat membawa pengaruh pada perkembangan pendidikan. Sebagai akaibatnya
pendidikan telah memberikan pertimbangan argumen. Liberalisme Dewey telah
mempengaruhi bidang-bidang seperti religius, politik dan estetika. Hal ini juga
bergesar pada ilmu pengetahuan sekaligus mewakilki potensi-potensi yang ada
pada budaya Amerika.
Dalam evaluasi
dari ilmu pengetahuan, Dewey dalam bukunya mengkombinasi tradisi dari Bacon dan
Lock. Biologi yang menjadi kunci untuk membenarkan pengertian akan alam bukan
ontologi. Selanjutnya dia terus pada meode pragmatismenya James dan memajukan
supernatural dari pemikiran Amerika.
REFERENSI
[1] Bdk.
Samuel, E. Stumpf, Philosophy: History and Problems, third
edition (New York: McGraw-Hill Book Company, 1983), hlm. 381-383.
[2] Seperti
yang terdapat dalam catatan kuliah kami dalam mata kuliah “Aliran-Aliran
Utama Filsafat Barat Fisafat Kontemporer” yang diasuh oleh Dr. J.
Ohoituimur
[3] J.
Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer (Pineleng:
Traktat Kuliah, 2003), hlm. 56.
[4] Memang
pragmatisme lebih popular dikembangkan oleh William James, tetapi ia sendiri
mengakui bahwa ia amat berutang budi pada Pairce. Pairce sendiri lahir di
Cambridge 1839. Sejak umur muda, ia secara serius menekuni bidang matematika,
kimia dan filsafat baik di rumah di bawah bimbingan ayahnya (Benyamin Peirce,
seorang professor matematika dan astronomi di Universitas Harvard) mupun di
Harvard College. Tidak banyak tulisannya yang diterbitkan ketika masa hidupnya.
Nanti setelah ia meninggal, tulisan-tulisannya diterbitkan menjadi Collected
Paperssebanyak enam volume dalam tahun 1931-1935, dan dua volume dalam
tahun 1958.
[5] William
James adalah orang yang dikenal sebagai pengembang dan penyebar pragmatisme
karena banyak tulisannya yang berbicara tentang pragmatisme sendiri. Bahkan
salah satu bukunya diberi judul Pragmatismeyang diterbitkan dalam
tahun 1907.
[6] Frederick
Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book
Company, 1951), hlm. 535.
[7] Ibid, hlm.
535-536.
[8] Richard
J. Bernstein, Dewey John, dalam “The Encyclopedia of
Philosophy, hlm. 380.
[9] Frederick
Mayer, A History of Modern Philosophy, hlm. 536.
[10] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta:
Kanisius, 1980), hlm. 133-134.
[11] Frederick
Mayer, A History of Modern Philosophy, hlm. 537-538.
[12] Bdk. J.
Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer,hlm.
75-77.
[13] John
Dewey, Experience and Education, dalam “Great Book of Western
World” (USA: Encyclopedia Britanica Inc, 1996), hlm. 110.
[14] Bdk.
Richard J. Bernstein, Dewey John,hlm. 381-382.
[15] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 134.
[16] Bdk.
Richard J. Bernstein, Dewey John,hlm. 384-385. Bdk. Juga J.
Ohoitimur,Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer, hlm.
76-79.
[18] Richard
J. Bernstein, Dewey John,hlm. 384.
[19] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 135.
[20] Bdk. J.
Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer,hlm. 79.
[21] Zamroni M.A., Pendidikan
Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civikl Society, (Yogyakarta: BIGRAF
Publishing, 2001), hlm. 30-31.
[22] Richard
J. Bernstein, Dewey John,hlm. 384.
[23] Zamroni
M.A., Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civikl
Society, hlm. 19.
[24] Frederick
Mayer, A History of Modern Philosophy, hlm. 548.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar